Sabtu, 27 Juli 2013

“Ramadhan tahun ini penuh ujian”

Sabtu, 27 Juli 2013
Ramadhan 1434 H, hari ke delapan belas
Semakin bertambah usia, semakin kita mengerti arti hidup. Seiring berjalannya waktu, makin banyak masalah hidup yang kita jumpai. Pengalaman demi pengalaman hidup datang silih berganti. Sama halnya dengan Ramadhan tahun ini. Mayoritas orang menuliskan status di akun jejaring sosialnya, mereka berkata “Ramadhan tahun ini penuh ujian.” Semua status yang bertuliskan demikian lantas aku menyetujuinya dan membubuhkan jempolku untuk “like” status tersebut. Baru kali ini rasanya aku dapat membaca status yang demikian. Hm… pantas saja baru kali ini, tahun kemaren Ramadhan kan aku masih tutup akun.
Semakin terasa perbedaan Ramadhan kali ini dengan Ramadhan tahun lalu. Meskipun aku merasakan perbedaan tiap-tiap Ramadhan yang aku lalui selama aku hidup. Aku sadar aku memulai fase dimana “Ramadhan tahun ini penuh ujian,” adalah suatu tanda bahwa hidup itu berkembang, semakin dewasa. Apa arti dewasa? Dewasa, menurut tiap-tiap orang berbeda maknanya. Tapi menurut aku, dewasa adalah saat-saat dimana hidup lebih maju dan lebih baik dari pada waktu sebelumnya, lebih mandiri, lebih peduli terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar, lebih bertanggung jawab, instrospeksi diri, memaafkan diri sendiri, menyadari kekurangan dan kesalahan diri, dan berusaha semaksimal mungkin tidak melakukan kesalahan yang pernah dilakukan. Apa semua rangkaian kata itu cukup untuk mendefinisikan kata “mandiri”? Tentu tidak. Ya, definisi itu aku buat berlaku untuk detik, menit, jam, hari, bulan, dan tahun ini saja. Seiring bertambahnya waktu, membuat definisi itu berubah. Berubah sesuai dengan kondisi yang pastinya semua orang harapkan, berubah untuk menjadi lebih baik lagi.
Terkadang kita perlu menanyakan kepada diri kita sendiri “Apakah aku sudah cukup dewasa?” tanpa kita bertanya kepada orang lain. Menurut aku, hal tersebut akan sangat absurd jika ditanyakan kepada orang lain. Mengapa? Karena dewasa adalah sikap. Bukan kiasan. Bukan makna kata yang sekonyong-konyong terbesit di otak, lalu turn on laptop plus internet, dan memposting di blog pribadi. Bukan pula kata yang ikut menyusun struktur kalimat tanya lalu ditujukan pada orang lain. Lantas bertanya aku di benakku, “Apakah aku sudah membuat suatu progress?.”
Balik lagi ke topik awal, ya “Ramadhan tahun ini penuh ujian”. Ujian apa saja sih yang dialami Ramadhan tahun ini? Seberapa pengtingkah topik awal sampai dibubuhi kata “penuh” di depan kata “ujian”? Mendekati hari awal puasa, aku melakukan hal yang seakan-akan dipaksakan oleh instansi dimana aku belajar. Bagaimana bisa? Aku ikut kegiatan yang aku tidak mengerti kenapa harus dilaksanakan pada saat hari libur, apalagi bertepatan pada awal bulan. Dimana seharusnya aku balik kerja lagi di warnet atau cari kerja lagi di tempat lain. Malah aku dipaksa untuk ikut kegiatan. Tidak ada alasan untuk menolak kan? Bagaimana bisa aku ikut kegiatan hanya karena untuk tujuan agar skripsinya berhasil diuji. Tapi siapa sangka, Allah berkendak lain. Kegiatan yang berhasil membuat aku emosi dan gregeten itu, malah timbul rasa lain muncul di benakku. Suatu panggilan. Pengabdian. Entah apa? Kegiatan itu diam-diam aku tidak ingin melihatnya secara nyata, tapi ternyata Allah membuat aku melihat seolah-olah kegiatan secara “khusus” ada menjelma bak gerbang buat aku dengan isyarat “terserah aku memasukinya atau tidak.” Tapi serta merta bukan kegiatan itu yang membuat aku “terpanggil”, tapi hanya Allah yang aku yakin. Allah memberiku petunjuk, untuk bersyukur ditengah himpitan kekecewaan ikut kegiatan tersebut dan mengorbankan kegiatan rutinitas yang aku wajibkan untuk aku kerjakan tiap liburan.
Menjelang hari puasa ditengah kedukaanku belum bisa balik kerja, muncul lagi masalah baru. Ibu menjadi korban pamer dan sayangnya aku jadi korbannya. Masalah yang menguras air mata. Membuat aku merasa goncangan batin bagai ombak datang silih berganti. Aku yakin aku akan bertemu orang itu dan anaknya yang cantik itu tiap kali lebaran. Namun sudah kuprediksikan lebaran kali ini mereka pasti siap untuk mengumbar kebanggaan kembali topik “beasiswa” itu dihadapan ibu lagi. Aku lebih baik diam menghadapinya. Tidak ada yang salah kan, orang tua bangga pada anaknya yang cantik, kaya, dan pintar. Yang salah cuma sombong, terlalu larut dalam noltalgia kebanggaan, dan merendahkan orang lain.
Pertengahan puasa. Perang batin diriku sendiri. Aku ingin berubah menjadi lebih dewasa versi aku sendiri. Aku sudah bertekad untuk mendekatkan diri dengan lingkungan. Sosialisasi adalah langkah awal aku untuk mewujudkan tekadku. Ikut buka bersama alumni SMA ku adalah langkah awalnya. Belum berangkat sudah denger kata-kata dari ibu, “Pasti banyak yang ndak ikut. Temen-temenmu lo ndak ikut, ngapain kamu ikut!.” Mak jleb! Ujian keseriusan ikut acara itu apa ndak. Aku tetep kudu ikut soalnya tanggal 28 Juli alias besok adalah hari genap setahun aku jadian sama pangeran impianku, MAJ. SEMOGA DIA INGAT!
Tapi tepat hari kemaren adalah hari dimana emosiku naik turun. Ada apa? Cuss…postingan selanjutnya!

Dengan api yang sebesar nyala api lilin,
Fikahati Rachmawati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar