Jumat, 12 Juli 2013
Hari ketiga Ramadhan
Sesungguhnya harta, kekuatan, dan kekuasaan semuanya hanya
milik Allah dan kelak semuanya akan kembali kepada Allah. Tidak ada yang abadi
di dunia ini. Yah, kalimat yang paling dahsyat maknanya yang ada di benak ini,
saat ini. Keluarga adalah ayah, ibu, dan anak. Orang tua adalah ayah dan ibu
bagi anak. Anak berbakti kepada orang tua. Orang tua pasti bangga punya anak
yang sesuai dengan keinginan dan harapan orang tua. Entah itu menjadi anak yang
shalih, shalihah, pandai, kaya, hidupnya mapan, rejekinya lancar, dan semua hal
yang baik-baik.
Tulisan ini aku tulis saat Ramadhan hari ketiga. Selepas shalat
teraweh yang berurai air mata. Bahkan saat mengetik tulisan ini mataku masih
sembab. Lebay? Hm, sekarang bukan saatnya mengejek orang lebay. Bahkan aku
yakin kalau seseorang yang membaca tulisan ini, mengejek yang mengetik ini
dengan kata-kata ‘lebay’, ‘alay’, atau bahkan ‘gila’, aku yakin si pembaca akan
menghentikan bacaannya sampai kalimat ini berakhir dengan tanda titik. Tapi
apapun itu, aku tetep peduli. Namun tak begitu banyak mempersalahkan. Membaca adalah
hak semua orang. Begitu pula dengan mengetik cerita hidup…
To the point…
Ibu aku ‘ke makan’ kata-kata pamer saudaraku dan parahnya
aku jadi ‘korbannya.’ Beasiswa itu… ah ibu, andai kau tau ibu, aku bersyukur
telah menjadi diriku sendiri. Diri yang aku sadari penuh salah dan dosa. Diri
yang apa adanya. Aku yang sepenuhnya bersyukur jadi anak ayah dan ibu. Wajar saja
bila dia membanggakan anaknya yang dapat beasiswa, sedangkan aku (belum) bisa
dibanggakan. Kenapa aku tulis kata ‘belum’? di tengah situasi genting, sedih,
kalut, dan galau seperti ini, aku tidak ingin berkata ‘tidak’. Karena aku, sama
seperti semua orang, aku ingin pula jadi anak yang bisa membanggakan orang tua.
Aku berfikir, apa ibu lupa aku pernah memberikan informasi ada 8 beasiswa yang
ada di kampus. Semuanya semester 3 dan dengan beberapa persyaratan lainnya. Ibu
memberi tau aku agar tetep fokus sampai semester tiga. Ya, aku sangat ingat
kata-kata itu. Saat itu ibu mengatakannya saat mengantarkan makan siang aku
saat aku kerja di warnet dulu. Pada saat pertengahan semester dua, aku cerita
kepada ibu bahwa aku diejek temanku karena rugi aku tidak dapat beasiswa itu. Saat
itu ibu menenangkanku, apa ibu lupa! Apa ibu lupakan itu semua! Kalau ibu tidak
lupa, ibu pasti tidak ‘ke makan’ kata-kata pamer orang itu!
Bukankah ibu bersyukur aku dapat beasiswa dan memberikan
seperempatnya buat ibu. Kalau aku dapat beasiswa lagi aku akan memberikan
setengahnya buat ibu. Tapi sepertinya hal itu percuma sekarang, bahkan seluruh
beasiswa yang jumlahnya 3 juta itu bila diberikan pada ibu semua, semua masih
terasa percuma kan dibandingkan dengan biaya kuliah 0% sampai wisuda! Seperti
anak orang itu, perbulan dapat beasiswa tidak mampu 600 ribu, namun di rumahnya
sudah terparkir rapi mobil yang baru dibeli. Tiap hari menggunakan kosmetik
tebal, berkomunikasi dengan ponsel mahal, dan kemana-mana memakai sepatu bagus.
Aku yang belum suka memakai kosmetik sampai kau ejek aku dekil, tidak punya
ponsel mahal, memakai sandal kemana-mana sampai kakiku belang. Kita yang tidak
punya mobil mewah, sawah luas, dan halaman luas. Ya, tapi ibu…ayah…kita masih
punya iman. Punya harapan untuk tetap berusaha. BERSYUKUR BILA MENDAPAT REJEKI
SEKECIL APAPUN DAN SATU YANG PASTI, TIDAK PAMER! Tidak takabur. Tidak sombong. Penampilan,
memang penampilan mencerminkan diri kita. Namun tidak sepantasnya kan kita
berpenampilan berlebihan. Seperti yang aku bilang dulu yang buat candaan kita
bersama, bedak bisa luntur! Dalam hati masih ada lanjutannya, bedak bisa
luntur, sama dengan kekayaan dan kebangaan yang terlalu dipamer-pamerkan… menjadikan
semuanya tidak nyata. Sesungguhnya semuanya milik Allah semata. Penampilan
sederhana saja, mencerminkan kalau diri kita sederhana, namun tanamkan rasa
kuat dalam diri. Kuat melawan halangan apapun. Tidak menjadi korban pamer. Korban
penindasan. Pepatah “penampilan
mencerminkan diri kita” menunjukkan kedudukan kita, namun belum bisa mengena
pada makna siapa diri kita. Belum mengena pada siapa diri kita sesunggunya,
dengan semua kebaikan dan kekurangan kita. Poin terpenting adalah bagaimana kita memperbaiki akhlak kita. Adakah? Preman berhati malaikat. Tapi
tidak usah ditanyakan adakah “Ustad berhati preman.” Aaaargghhh…
Unek-unek ini memang belum bisa mewakilkan semua rasa yang
ada di diri aku, Bu. Tapi aku rasa kalau ibu dan ayah belum bisa memenuhi uang
kuliahku, jangan khawatir. Aku sudah memikirkan hal-hal yang harus aku lakukan.
Mungkin dengan sertifikat KMD aku bisa mengajar di sekolah-sekolah. Atau menjadi
loper Koran. Menjadi seorang penjual pulsa. Membuka jasa pengetikan. Mencari tempat
kerja yang mau memperkerjakan aku dengan kerja yang halal. Tidak ada yang tidak
diupayakan, semua… dengan pengorbanan dan perjuangan. Aku tak bisa mengatakan
kepada ayah dan ibu secara langsung, namun aku ingin kalian mengerti. Tak butuh
kata-kata untuk membuat ayah dan ibu mengerti… dengan tindakan ini akan
menjawab semua keinginan ayah dan ibu. Aku berusaha disini. Aku berjuang
disini. Tapi hal yang saat ini aku ingin adalah mohon mulai saat ini bersyukur
dengan rejeki masing-masing, semangat, berjuang, pasti ada jalan, dan jangan
hiraukan lagi kata-kata pamer orang itu.
Kini ini aku masih meratap dalam hati, “Allah berikan aku
ikhlas menghadapi semua keadaan ini.”
Dalam luka,
Fikahati Rachmawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar