Hai
Fika? Hai. Lagi apa? Lagi makan. Makan sama apa? Penyetan lele. Masak sendiri
atau beli? Beli. Kenapa beli, nggak bisa masak ya? (END).
Sekilas
percakapan antara aku dan temenku. Ya, teman. Teman lama. Teman SMP ku dulu,
temen kira-kira tau 5 tahun lalu. Tanpa kenal. Kenapa aku sebut tanpa kenal? Aku
sekedar tau namanya, Brooo. Barusan aku ketemu dia di BBM. Dia pakai nama salah
satu vokalis band trus belakangnya ada embel-embelnya grup yang saat ini dia ikuti.
Alhasil aku manggil dia pakek nama itu, eh.. setelah diberitau temenku, aku
baru ‘ngeh’. Kembali lagi ke topik tanpa kenal, aku tau dia se-SMP yang sama
dengan aku dulu. Tapi aku dan dia ndak pernah satu kelas. Selama tiga tahun menempuh
pendidikan di kelas SMP itu ndak pernah sekelas sama dia. Tapi bukan karena
ndak sekelas trus aku ndak tau dia. Aku tau dia seangkatan sama aku dan aku
sama dia ndak pernah dekat. Selama SMP dulu aja itu aku sama dia ndak pernah
ngobrol. Eits, kelamaan mbahas dia, sebenarnya dia dan siapa dia sosok
sebenarnya itu bukan fokus pembicaraan dan yang paling penting adalah topik
pembicaraan pada tulisanku kali ini yaitu yang terpampang jelas pada paragraf
pertama. Samar-samar menjelaskan judul yang aku buat sih. Hehehe.
Jadi
gini, bukannya aku ndak mau diatur, keras kepala, gak bisa masak, kerjaannya
hanya kuliah, atau cewek malas. Tapi aku merasa, kalau ada seseorang, entah itu
cowok ataupun cewek meragukan kalian bisa masak apa ndak, itu sangat meyayat
hati, pikiran, dan batin. Apalagi ada seseorang yang mengejek kalau kalian ndak
bisa masak. Aku rasa, semua cewek itu BISA memasak. Entah itu mahasiswi, karyawan
swasta, guru, dosen, penjaga warnet, SPG, dan lain-lain. Pokoknya wanita lah,
menurut aku semua bisa memasak. Tidak tertutup kemungkinan laki-laki juga. Menurutku
laki-laki juga bisa memasak.
Memasak
menurut aku adalah kegiatan. Kegiatan biasa yang tidak begitu dielu-elukan. Memasak
adalah kegiatan hidup yang sama dengan kegiatan-kegiatan yang lain. Mungkin bagi
seorang chef atau karyawan dapur, memasak adalah hal yang sangat penting,
bahkan bisa jadi mungkin memasak menjadi nomor satu di hidupnya. Memasak bagi
seorang chef, adalah separuh nafasnya, separuh hidupnya. Memasak adalah hal
yang mendarah daging di hidupnya.
Berbicara
memasak, tidak lepas dari ibu rumah tangga. Bahkan ada pepatah yang pernah aku
dengan berbunyi “pekerjaan wanita iku 3
m, masak, manak, dan macak”. Artinya “pekerjaan wanita itu adalah memasak,
melahirkan, dan berdandan. Pepatah itu betul. Betul karena secara umum di
dalamnya mengemukakan 3 hal kegiatan manusia, yaitu memasak, melahirkan, dan
berdandan. Bahkan disini, aku tulis ‘manusia’ karena apa? Seorang laki-laki pun
juga bisa memasak dan berdandan. Laki-laki berdandan? Apa benar? Benar saja. Kalau
kamu cowok, sebelum berangkat kencan dengan cewek yang kamu cintai, kamu dandan
kan? Iya bisa saja kamu bilang itu bukan dandan, tapi memakai jelly di
rambutmu, memakai minyak wangi, berpakaian rapi, berdiri diatas kaca sambil
mencukur dan merapikan jenggot, itu berdandan ala laki-laki. Kembali ke
papatah, pepatah tersebut bukan lantas menjadi pedoman atau panutan semata. Di jaman
sekarang yang serba canggih, pepatah tersebut masih ada eksistensinya, namun
perlu dikembangkan. Cara pengembangannya tergantung pada diri manusia sendiri. Ataukah
pola pikir seorang manusia masih terpaku dan terperangkap dalam 3 kegiatan yang
seolah-olah hanya itu saja kegiatan yang ada di dunia ini. Atau berkembang
menjadi lebih kreatif, inovatif, dan mandiri dengan tetap dibawah peraturan dan
tata krama yang ada.
Dosenku
pernah bilang, mahasiswa terutama mahasiswi harus belajar memasak mulai
sekarang karena dengan memasak, bisa mengetahui dan mengatur manajemen uang,
selain itu dengan memasak juga lebih hemat. Saat dinasehati demikian, dalam
hati aku mengiyakan, bahwa perkataan dosenku benar dan tidak ada kewajiban
untuk memasak atau dengan kata lain tidak ada desakan, perintah keras, atau
himbauan keras bahwa mahasiswi harus memasak. Beliau menambahkan bahwa memasak
merupakan salah satu sikap ilmiah IPA yaitu teliti, teliti dalam manajemen
uang. Beliau memang dosen mata kuliah IPA yang topik kuliah pada saat itu
adalah mengenai IPA sebagai proses, produk, dan sikap ilmiah. Nasehat ini
sekaligus metode beliau untuk menyampaikan sikap ilmiah IPA kepada
mahasiswanya. “Memasak berarti sikap anak IPA”, imbuh beliau. Seketika setelah
mendengar kalimat tersebut aku berbisik ke temanku yang duduk di sebelah
bangkuku. Aku bilang memasak adalah sikap anak IPA, sikap anak IPS tidak
memasak tapi selalu membeli dan berpindah toko satu ke toko makanan yang lain
untuk mengetahui toko mana yang makanannya enak dan murah”. Aku dan temanku
tertawa kecil lalu lanjut mendengarkan kuliah beliau.
Tidak
perlulah membahas lebih dalam mengenai anak IPA atau anak IPS, seperti ada
jurang pemisah aja antara anak IPA
dan anak IPS. Anak siapa saja itu pintar. Anak siapa saja tetap mempunyai
potensi. Tergantung dari sudut mana memikirkannya dan memaknainya. Sejauh kita tetap
berfikir jernih dan positif.
Mahasiswa
yang tidak memasak alias membeli, dia tau harga bahan masakan di warung,
membandingkannya dengan harga bahan masakan hari warung lainnya, dan
mencocokkannya dengan jumlah uang yang dipunyainya. Lebih jauh lagi, bila ada
yang bertanya mengenai warung makan mana yang cocok untuk makan, dia bisa
menjawab pertanyaan tersebut dengan mantap dan bisa merekomendasikan orang lain
tentang tempat makan / warung yang terbaik. Mahasiswa yang tidak memasak alias
membeli kenal dengan penjual di warung, lebih jauh lagi bila dia berlangganan
dia bisa kenal dengan pembeli lain. Dengan ini kemampuan sosialisasi bertambah.
Mahasiswa yang tidak memasak alias membeli, tau makanan yang sehat, sehingga
dia tidak membeli makanan yang dijual di warung atau di tempat makan yang tidak
sehat. Mahasiswa yang memasak yang tidak tau makanan tersebut sehat atau tidak
alias asal masak atau sedang eksperimen, dia bisa belajar dan merekomendasikan
orang lain. Misalnya bila ada sakit karena mengkonsumsi masakan yang dia masak
sendiri, apabila ada yang tanya “Kamu sakit kenapa?” dia jawab “Karena makan
masakan di warung itu, sebaiknya kamu dan teman-teman lain jangan makan di
warung itu karena masakannya ternyata kurang higienis.” Mahasiswa yang tidak
memasak alias membeli juga bisa berwirausaha dengan menjadi distributor nasi
bungkus dan bila ditekuni secara telaten dam mendalam bisa menjadi distributor
makanan dan warung, dan menjadi manajer makanan.
Mahasiswa
yang memasak, dia tau harga bahan masakan hari itu, membandingkannya dengan
harga bahan masakan hari kemaren, dan mencocokkannya dengan jumlah uang yang
dipunyainya. Lebih jauh lagi, bila ada kenaikan atau kemerosotan harga bahan
makanan dia juga akan lebih tau. Mahasiswa yang memasak kenal dengan penjual
bahan makanan, lebih jauh lagi bila dia berlangganan dia bisa kenal dengan
pembeli lain. Dengan ini kemampuan sosialisasi bertambah. Mahasiswa yang
memasak tau tempat-tempat dimana dia membeli bahan makanan. Mahasiswa yang
memasak tau makanan yang sehat, sehingga dia memasaknya. Mahasiswa yang memasak
yang tidak tau makanan tersebut sehat atau tidak alias asal masak atau sedang
eksperimen, dia bisa bertanggung jawab. Misalnya bila ada sakit karena
mengkonsumsi masakan yang dia masak sendiri, apabila ada yang tanya “Kamu sakit
kenapa?” dia jawab “Karena makan masakan eksperimen yang aku buat sendiri.”
Nah. Mahasiswa yang memasak juga bisa berwirausaha dengan membuka warung
makanan yang dimana dia sendiri yang memasak semua menu masakan dalam
warungnya.
Masih
banyak pendapat-pendapat positif mengenai suatu hal, lantas kenapa kita harus suudzon? Gampang seseorang untuk bicara,
mengolok-olok, bahkan menghujat. Apalagi berbicara dengan seseorang yang jauh
dan si pembicara yakin tidak akan pernah kopi darat dengan si lawan bicara. Semakin
lepas saja kata-katanya dan tidak memikirkan perasaan atau hati lawan bicara. Ada
yang bilang “hidup itu sawang-sinawang”,
kita yang menjalani hidup, orang lain yang mengomentari. Memasak menurutku mempunyai
banyak arti. Mungkin yang aku tuliskan disini cuma sebagian saja. Memasak adalah
kegiatan, waktu, kesempatan, kreasi, kesenangan, kewajiban, kesiapan, rasa, dan
waktu.
Memasak
adalah kegiatan yaitu bagian dari hidup yang dilakukan semua orang, baik
laki-laki atau perempuan. Semuanya bisa memasak. Memasak air, memasak mie. Menggoreng
telur. Memasak sayur sop. Memasak nasi goreng. Memasak bahan makanan menjadi
enak dan sehat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Memasak
adalah kesempatan emas bagi semua orang. Mengolah hasil sumber daya alam yang
diciptakan Allah lalu memasaknya dengan disertai dengan doa. Kesempatan emas
untuk beribadah di dunia, untuk bekal kelak di akherat.
Memasak
adalah kreasi. Dengan memasak kita berkreasi mengenai resep masakan. Resep masakan
yang lama bisa di-“combine” dengan resep masakan yang baru. Semakin banyak
berkreasi, semakin mahir. Ikut kompetisi memasak lalu menjadi juara I. Sama dengan
kreasi, memasak juga tetang rasa.
Memasak
adalah kesenangan. Bisa meracik sendiri makanan, makanan yang kurang enak
menjadi bahan lucu-lucuan setelah itu dievaluasi agar tidak memasak dengan cara
yang kurang benar. Kesenangan juga bisa membagi masakan dengan orang lain, baik
keluarga, teman, sahabat dekat, maupun orang lain.
Memasak
adalah kewajiban. Sama dengan makan, makan adalah kewajiban. Memasak juga
kewajiban. Kelas setelah berumah tangga, wanita menjadi seorang istri dan istri
harus memasakkan makanan untuk keluarganya.
Memasak
adalah kesiapan. Kesiapan untuk memanajemen uang dan waktu bagi semua jenis
pekerjaan, terutama mahasiswa. Kesiapan untuk menjadi istri yang baik. Kesiapan
untuk menjadi juara I di kontes masak. Kesiapan untuk dipuji suami dan anak
karena masakan lezat. Uuuupppss!! :D
Memasak
adalah waktu. Memasak membutuhkan waktu. Manajemen waktu sangat penting untuk
memasak. Sekarang aku ada di semester 4, dulu saat semester 1 dan 2 aku sempat
memasak, memasak penyet tempe sambal bawang, memasak udang goreng krispi,
sampai memasak soup ceker. Aku abadikan dalam sebuah foto.
Saat itu aku
berharap, aku bisa menjadi seorang chef atau menjadi seseorang yang punya
restoran terbesar di dunia. Semester 3 sibuk kuliah karena dosen rajin memberi
tugas kuliah, semester 4 juga demikian. Tidak sempat memasak 2 semester saja
sudah dibilang tidak bisa masak. Sungguh omongan yang asal keluar dari mulut. Tapi
aku bersyukur dia melontarkan kata-kata demikian, sehingga aku bisa menulis
ini, dan berbagi kepada yang lain.
And the end, semua
orang bisa memasak. Pikirkan dulu apa yang akan kita omongkan sebelum kita
berbicara. Jangan asal bicara. Berpikir positif, karena berpikir negatif akan
membuat kita “bagaikan katak dalam tempurung”.
Salam
“Melihat Kebaikan Di Segala Hal”...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar